Wednesday 21 February 2018

Cinta Itu Memberi Tak Harap Kembali

"Aku tu jengkel ngrasanya kek dia udah ga ada lagi usahanya buat tetep barengan"
"lha emangnya kamu sendiri udah usaha? "

Secuplik percakapan dengan teman lelaki saya sore itu.  Awalnya saya tidak mau curhat,  tapi keceplosan juga, karena dia curhat tentang cewek dia, yang katanya dengan gampang minta putus.  Bagi saya sebagai perempuan sih wajar ya,  soalnya saya juga suka minta putus sembarangan kalau lagi jengkel dan doi tanggapannya ga banget.  Saya bilang ke teman saya ini,  kalau cewekmu minta putus dia ga minta beneran kok,  dia cuma pengen diperhatikan saja.  Dia tertawa mendengar alasan saya,  katanya mau sampe kapan bertingkah tidak dewasa seperti itu.  Hmmm iya juga ya,  merajuk dengan menjadikan status sebagai sebuah alat untuk mengancam.  Teman saya ini lanjut lagi,  perhatian saya sudah beri ke dia,  setiap hari saya kirim 20 sms ke dia,  kamu tau berapa yang dia balas?  Hmmm 4 atau 5 mungkin, " tebakku dengan asal.  Yap benar!  Jadi aku sudah berusaha untuk mengasihinya dan memperhatikannya dengan konsisten,  kalau katanya cowok berjuang di awal doang,  ini aku buktikan kalau aku tidak seperti itu,  tapi lihat balasannya. " aku sudah kebal diperlakukan seperti ini,  kalau ditanya sayang ga,  ya jelas sayang, tapi mencintai dengan ikhlas itu sulit, tapi aku coba terus.  bayangkan misalnya kita beri dia 10, pengennya kan kita dapat 10 juga dari dia,  tapi apa daya dia cuma kasih 2. Kalau kata mario teguh si cinta itu perhatian.  Kalua dia sudah tidak perhatikan kita lagi,  sudah tidak excited dengan kabar kita lagi,  sudah tidak perduli lagi,  ngapain kita tetap memberi hal yang tidak kita dapat? Tapi sayang sama orang itu kan kita memberi,  bukankah seyogyanya untuk tak harap kembali?  Kalau kita beri dia makanan atau uang misalnya,  pasti kita rela,  dan malu kalau sampai pamrih.  Tapi kenapa kalau soal memberi cinta ini,  kita kadang merasa sakit dan terhina kalau tidak dibalas sebesar kita memberi?  Memang sakit,  ketika Kita jadikan dia prioritas tapi terkadang kita ga ada di daftar prioritas dia. Kita kadang jadi buta mata dan berpikir kalau kita sudah berusaha dan memberi tapi dia tinggal enak" aja buat nerima.  Yang muncul semua prasangka yang jelek", lalu kits mulai bertanya dengan rekan" bagaimana pendapat mereka.  Kita ceritakan dengan sudut pandang kita. Apakah saya ini bodoh dalam mencinta?  Semua yg keluar dari mulut tanpa kita sadari menyudutkan dia, yang jeleknya saja yang kita ingat,  kebaikan dia yang segudang tiba" saja hilang dari ingatan. Terkadang opini teman" kita ini subyektif, karena data yang mereka dengar juga hanya sepihak,  apalagi mereka tidak mengenal orang yang kita sayang ini sedekat kita.  Mulailah kita mendengar opini 1,2,3,4 dst.  Lalu kita simpulkan,  kok banyak yang bilang sudahi saja,  masih banyak lelaki/wanita lain katanya, yang model begini buang saja.  Lalu kita manggut-manggut, memang benar berarti pikiranku selama ini, dia itu sudah keterlaluan. Maka tanpa pikir panjang kita sudahi saja hubungannya,  lalu mulai cari pasangan yang lain. Lama kelamaan,   Ketakutan kita kalau ga dapat orang yang cocok sama kita pun semakin besar.   Padahal, sampai ajal menjemput juga mana ada yg cocok sama kita, mau dicari kek gimanapun juga susah dapatnya,  wong konsep aja sudah kurang tepat.  Mencari pasangan yang cocok dengan kita itu artinya kita egois, istilahnya kita siapkan kotak dan kita suruh pasangan kita untuk masuk dan fit that box. Terus kita mulai merenung, dan mulai menyesal,  kenapa mengambil keputusan tergesa-gesa.  Padahal kalau misalnya kita mau turunkan sedikit ego kita,  mau bersabar sedikit lebih lama,  mau berusaha sedikit lebih keras, mau menekan emosi kita,  masih bisa lho hubungan itu untuk dipertahankan.  Memang benar masih banyak lelaki/wanita di luar sana,  tapi apa ada yang sama dengan dia?  Ga ada lho,  orang itu diciptakan dengan unik. Rekan" boleh beropini tapi tetap kembali lagi kita yang merasakan dan tau seperti apa orang yang kita sayang ini. Seandainya saja kita mau timbang" juga kebaikan dia ke kita diantara kesalahan"nya, mana mungkin semudah itu kita putuskan untuk berhenti.  Tapi seringnya yang kita lakukan malah mengumpulkan kesalahan dia dan merasa kalau kita sudah lakukan berbagai cara tapi dia diam saja tak berkutik,  kalau menjawab pun jawabannya tak masuk akal (ideal kita). Lalu sampailah pada puncak pemyesalan,  dan kita ingin kembali,  tapi nyatanya rasanya sudah tidak seperti dulu lagi.  Intropeksi diri itu sulit kan, tapi itu penting!! Kata teman saya sambil meneguk air dari botol club 1,5 liter.  Saya pun hanya bisa manggut" sambil tertampar malu.