Oh ya, karena aku ganti teori, jadi teori yang lama yang sudah bergulat denganku berbulan-bulan tidak terpakai. Padahal sudah buat seminar, revisi berkali-kali dan sidang. Tapi tidak apa-apa, aku upload disini saja biar jadi bahan bacaan yang lain-lain kalau pembahasannya mengenai analisis wacana pake teori Norman Fairclough. Jadinya kan masih ada manfaatnya wehehehe. Sebenarnya aku juga ada beberapa ebooknya dalam bentuk pdf, sumpita aku lupa link downloadnya waktu itu tapi pdfnya masih. Kalau mau, silahkan tinggalkan email aja. Ebook dalam bentuk pdfnya ada beberapa judul ini:
1. Fairclough- Language and power
2. Fairclough- Critical Dyscours Analysis
3. Fairclough- Discours and Social Change
4. Fairclough- Media Discourse
Untuk semua yang sedang berkutat dengan laporan akhir, tetapsemangat yah, sesungguhnya dalam setiap kesulitan bersama kemudahan. Fighting!
Berikut ini teori Fairclough singkat yang aku pahami:
ANALISIS WACANA KRITIS
Pandangan
wacana kritis curiga akan ketidaknetralan bahasa yang digunakan untuk praktik
kekuasaan. Analisis wacana kritis berperan dalam mengkritisi dan memberikan
kesadaran kepada khalayak mengenai hal-hal yang berhubungan dengan ketimpangan
sosial, dominasi kekuasaan, ideologi yang direproduksi dan lain sebagainya. Van
Djik (Darma:2009:54) menekankan bahwa dalam AWK tidak ada kesatuan kerangka
teoretis atau metodologi tertentu untuk menganalisis, tapi keterampilan dan
pemusatan pikiran yang dilatari ilmu pengetahuan dan nalar lebih berperan. Maka
teori dari ahli digunakan agar dalam menganalisis menjadi lebih ilmiah dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam analisis pada penelitian ini digunakan teori
dari Norman Fairclough. Ia adalah salah
satu tokoh aliran wacana dengan pandangan kritis. Ia memandang akan hubungan bahasa dan praktik sosio cultural,
yang ia kemukakan pada bukunya yang berjudul
Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language sebagai
berikut.
Fairclough (1995a:7) berpendapat:
“ My view
is that ‘discourse’ is use of language seen as a form of social practice, and
discourse analysis is analysis of how texts work within sociocultural
practice.”
"Pandangan saya bahwasanya 'wacana' adalah
penggunaan bahasa yang dipandang sebagai bentuk praktik sosial, dan analisis
wacana adalah analisis tentang bagaimana teks bekerja dalam praktik
sosiokultural." Terdapat
hubungan yang saling berkaitan antara penggunaan bahasa dengan praktik atau
kegiatan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Namun, seringkali masyarakat
tidak menyadari bahwa terdapat dominasi dari seseorang melalui bahasa yang
digunakan dalam melangsungkan praktik sosial. Oleh karena itu, tujuan praktis
dari analisis wacana kritis Fairclough adalah untuk memberikan kesadaran atas
hubungan bahasa dengan ketimpangan kekuasaan. Seperti yang dikatakan Fairclough
(1989:1) berikut ini:
“The second
is more practical: to help increase consciousness of how language contributes
to the domination of some people by others, because consciousness is the first
step towards emancipation.”
“Yang kedua lebih bersifat praktis: untuk meningkatkan
kesadaran akan bagaimana bahasa berkontribusi dalam dominasi seseorang oleh
orang lainnya, karena kesadaran adalah langkah awal menuju emansipasi.”
Proses dominasi dan didominasi tersebut dapat menjadi
hal yang dianggap biasa atau umum di masyarakat melalui campur tangan kekuasaan
yang berwujud ideologi dalam balutan bahasa. Orang-orang berinteraksi melalui
bahasa dan melegitimasi pihak lain melalui praktik sosial yang terjadi
berulang-ulang. Di sisi lain, terdapat upaya tarik ulur kekuasaan dan negosiasi
pada struktur sosial. Kelompok dominan yang memperteguh basis kekuasaannya,
ataupun kelompok oposisi yang mencoba untuk menggoyang basis kuasa tersebut,
sehingga muncullah pertarungan ideologi. Kelompok-kelompok tertentu saling
mengajukan ideologinya untuk berebut mempengaruhi publik. Hal tersebutlah yang
akhirnya menciptakan ketimpangan yang direproduksi dalam struktur sosial. Namun,
untuk menganalisis sebuah wacana yang berhubungan dengan praktik sosial,
tataran bahasa pada teks, baik oral maupun tertulis tidaklah cukup. Fairclough
menawarkan cara analisis dengan mengkaji
pada 3 tataran dimensi, yaitu teks, discourse
practice dan sosciocultural practice.
Ketiganya dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.
1.
Teks
Teks secara tradisional dimaknai sebagai bahasa
tertulis, namun secara lebih luas ucapan oral juga merupakan teks. Seiring
waktu teks menjadi multisemiotik dengan adanya penggabungan seperti text oral
yang berupa bahasa dengan music, gambar visual dan efek suara seperti di TV.
Atau teks berupa tulisan yang digabungkan dengan gambar, diagram maupun desain
grafis(Fairclough:1995a:4).
Menurut Fairclough (1989) pada tataran teks bahasa
dapat dianalisis melalui kosakata, gramatikal dan struktur teks, ketiganya
dijelaskan di bawah ini:
a.
Kosakata
Dalam
melihat teks pada tataran kosakata, Fairclough mengajukan pertanyaan untuk
membantu peneliti dalam membedah teks, pertanyaan tersebut masing-masing dibagi
dalam 3 nilai, yakni, nilai pengalaman, relasional dan ekspresif. Pertanyaa
keempat di luar nilai yaitu mengenai metafora. Nilai pengalaman, meliputi: pola
klasifikasi, kata-kata ideologis, proses leksikal, relasi makna (sinonim,
antonym, hiponim). Nilai relasional mencangkup ekspresi eufemistik (kata-kata umum
yang digunakan untuk menghindari penilaian negatif) dan pilihan kata yang
digunakan, apakah formal atau informal. Nilai ekspresif mengacu pada subjek dan
identitas sosial. Kemudian yang terakhir adalah metafora yang mungkin digunakan
untuk menggambarkan subjek, situasi, dan lain sebagainya.
b. Gramatikal
Pada tataran gramatikal diajukan 4 pertanyaan untuk
diteliti. Untuk nilai pengalaman, diantaranya mengenai : jenis proses dan
partisipan yang mendominasi, apakah agen dikaburkan, proses apa yang
ditampakkan, apakah nominalisasi digunakan, kalimat apa yang dipakai :
aktif, pasif, positif atau negatif. Pada nilai relasional, pertanyaannya
yaitu : bagaimana modus kalimat yang dipakai, apakah ada modalitas
relational, Bagaimana pronomina kita dan kamu digunakan dalam kalimat. Pada
nilai ekspresif menyoroti apakah modalitas ekspresif digunakan atau tidak.
Pertanyaan keempat adalah melihat bagaimana antarkalimat dihubungkan dengan
melihat kata penghubung yang dipakai, kalimat kompleks ditandai dengan
koordinat atau subordinat, cara apa yang digunakan untuk merujuk ke dalam dan
keluar teks.
c. Struktur
Tekstual
Hanya ada dua
pertanyaan yang diajukan Fairclough, yaitu : bagaimana interaksinya,
apakah ada salah satu partisipan yang mengontrol giliran dari partisipan
lainnya, bagaimana struktur teks secara luas.
2.
Praktik Wacana (Discourse Practice)
Praktik wacana digambarkan sebagai proses produksi, distribusi dan
konsumsi teks.(Fairclough:1995a: 23) Sebelum sampai ke publik, sebuah teks
dibuat melalui campur tangan pihak tertentu dengan dimasukkan ideologi, norma,
nilai yang dianut ataupun hal-hal yang ingin disebarkan oleh si pembuat
menggunakan perantara bahasa dan mempertimbangkan hubungan pembuat teks wacana
dan kepentingannya. Sebuah teks diproduksi secara spesifik berdasarkan konteks
yang spesifik pula. Teks dikonsumsi berbeda pada konteks yang berbeda. Pada
tahap konsumsi, seperti halnya produksi, teks dibuat secara individu maupun
kolektif. Distribusi teks juga beragam, ada yang simple ada pula yang kompleks
dan butuh antisipasi akan publik yang mengkonsumsinya(Fairclough:1992:79).
Discourse
practice digunakan sebagai media perantara antara teks dan praktik
sosiokultural. Seperti pendapat Fairclough (1995b:59-60) berikut ini:
“I see discourse practice as mediating between the
textual and the social and cultural, between text and sociocultural practice,
in the sense that the link between the sociocultural and the textual is an
indirect one, made by way of discourse practice [...] i.e the ways in which
texts are produced and consumed, which is realized in features of text.”
”Saya
melihat praktik wacana sebagai media antara tekstual dan social dan kultur,
antara teks dan praktik sosikultural, dalam artian bahwa hubungan antara
sosiokultural dan tekstual adalah sesuatu yang tidak langsung, tapi dibuat
dengan cara praktik wacana [...] yaitu cara teks diproduksi dan dikonsumsi,
yang diwujudkan dalam bentuk teks.”
3.
Praktik
Sosiokultural (sosciocultural
practice)
Praktis sosiokultural adalah tahapan akhir dari analisis 3 dimensi yang
ditawarkan Fairclough. Pada tataran ini praktik sosiokultural digunakan sebagai
tahap eksplanasi. Fairclough (1989:63) menjelaskan lebih lanjut mengenai tujuan
dari tahap eksplanasi:
“The objective of the stage of explanation is to potray a discourse as
part of a social process, as a social practice, showing how it is determined by
social structures[…]”
“Tujuan
dari tahap penjelasan adalah untuk menggambarkan wacana sebagai bagian dari
proses sosial, sebagai praktik sosial, yang menunjukkan bagaimana hal itu ditentukan
oleh struktur sosial […]”
Pada tahap tersebut, konteks sosial
berpengaruh pada bagaimana sebuah wacana ditampilkan dan memberi andil pada
bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Terdapat 3 level social determinant yakni, situasional, institusional dan societal untuk
melihat bagaimana relasi kuasa dalam pembentukan wacana. Tahap
eksplanasi melibatkan perspektif yang dipandang sebagai ideologi pada tahap
interpretasi. Hal tersebut untuk menggambarkan efek dari wacana pada pergulatan
sosial, apakah sebuah wacana berkontribusi untuk melanggengkan kekuasaan atau
mendekontruksinya dengan perubahan (Fairclough:1989:166). Dengan demikian dapat
menunjukkan bagaimana praktik sosiokultural, mengenai hal-hal berhubungan
dengan sosial yang terjadi disekitar kita tidaklah terjadi secara kebetulan
melainkan itu adalah hasil dari struktur sosial yang sarat akan kekuasaan.
Daftar Pustaka:
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. London: Longman.
Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press.
Fairclough, Norman.1995a. Critical Discours Analysis: The Critical Study of Language.
New York:Longman.
Fairclough, Norman. 1995b.Media Discourse. New York: Edward Arnold.